Posted by
Unknown
|
0
comments
Mobil Esemka dan Mentalitas Bangsa
Beberapa teman bertanya, pak apa yang harus kita lakukan untuk mendorong agar isu tentang mobil Esemka ini jadi produktif? Saya bilang, order mobilnya biar semua jadi semangat! Ketika isu ini muncul, sebagian besar berkomentar mendukung, hanya satu dua pejabat yang bersikap agak sinis,
namun yang saya ingin garis bawahi dalam kasus ini adalah berkembangnya pembicaraan yang tidak terarah. Banyak pertanyaan seputar teknis, seberapa besar komponen yang dikandung? Apakah ini rakitan atau buatan sendiri? bagaimana dengan lisensinya, apakah layak digunakan atau tidak? Inilah persoalan besar bangsa kita hari ini, kita tidak mampu menangkap substansi dari apa yang terjadi di negeri kita. Saya menyampaikan kepada teman – teman termasuk pers agar persoalan teknis dalam kasus ini tidak dikuliti lebih dalam, mengapa? Karena begitu kita memperbicangkan persoalan teknis mobil esemka, maka akan ada seribu alasan yang membuat masuk akal untuk kita tidak menggunakannya. Jangankan mobil esemka yang jelas – jelas merupakan produk yang membutuhkan teknologi, bahkan air minum isi ulang pun, produk nyaris tanpa teknologi, pernah ramai ramai kita jauhi karena sebuah institusi pendidikan tinggi negeri pada saat itu membeberkan secara heroik bahwa air minum isi ulang mengandung bakteri ini dan itu, saya baru tahu belakangan bahwa riset itu disponsori oleh perusahaan air minum dalam kemasan milik asing yang hari ini menguasai pangsa pasar terbesar di Indonesia, bahkan bisa dikatakan memonopoli pasar air minum dalam kemasan di negeri kita.
Bagi bangsa Indonesia masalah sesungguhnya yang sedang kita hadapi sama sekali bukan masalah teknis, apakah bangsa kita bisa membuat produk atau tidak, apakah produk bangsa Indonesia bisa bersaing secara kualitas atau tidak, apakah harganya lebih murah atau tidak, itu semua masalah teknis. Persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia hari ini, sehingga produk kita tidak ada di pasar, sehingga bangsa kita miskin, adalah persoalan mentalitas. Mentalitas pembelaan terhadap produk bangsa kita sendiri! Kita belum bisa membedakan produk mana yang seharusnya dibela, apakah produk bangsa kita sendiri atau produk bangsa lain. Coba lihat bagaimana sebuah BUMN seperti PT. Merpati Nusantara dengan gagah berani membela pesawat buatan Cina yang tidak berlisensi, padahal kita sendiri mampu membuat pesawat. Juga lihat bagaimana institusi pendidikan tinggi negeri yang pernah mempublikasikan hasil risetnya tentang air isi ulang dan meruntuhkan pengusaha – pengusaha kecil di negeri kita sendiri pada kesempatan lain berperilaku membingungkan dengan mati – matian menutup rapat identitas Perusahaan asing dan merk produk asingnya ketika riset mereka menemukan bahwa produk – produk susu yang diproduksi oleh perusahaan asing tersebut berbakteri dan sangat merugikan masyarakat.
Tidak jelas apa yang dibela! Itulah substansi dari permasalah bangsa kita. Ketidak berdayaan produk dalam negeri hanyalah sebuah indikasi, indikasi dari pembelaan yang tidak terjadi di negeri ini. Kita belum bisa memahami bahwa produk asing artinya ekonomi asing, produk Indonesia adalah ekonomi Indonesia. Pembangungan industri di negeri kita menjadi kedodoran setengah mati karena produk anak – anak kita tidak dibela di negeri sendiri. pasar yang sangat besar tidak memberikan makna bagi kemajuan ekonomi bangsa kita sendiri. Membangun industri tidak bisa dimulai dari industri itu sendiri karena Industri tidak menentukan pasar, tetapi pasar yang menentukan industri, produk tidak bisa mendikte customer, customerlah yang mendikte produk. Kalau bangsa Indonesia tidak mau menggunakan produk milik bangsa sendiri, maka produk dalam negeri akan runtuh, itulah yang terjadi hari ini, sehingga jumlah pengusaha di Indonesia sangat kecil hanya 0.28% (China 6%, Amerika 11%, Singapore 9%), anak – anak kita yang merintis usaha gulung tikar setiap hari, dan pasar dipenuhi oleh produk – produk asing. Kesediaan Walikota Solo menggunakan mobil dinas buatan Sekolah Menengah Kejuruan adalah sebuah contoh konkrit bagaimana seharusnya seorang walikota bersikap terhadap produk anak bangsanya. Jelas apa yang dibela! Bukan pertanyaannya apakah mobil tersebut layak atau tidak, pertanyaannya mau pakai atau tidak!
Jika minggu – minggu ini kita mendengar walikota tersebut dengan mobil esemka-nya, beberapa minggu yang lalu kita mendengar Gubernur Jawa Timur menolak beras impor untuk raskin, kita juga mendengar beberapa bulan yang lalu Gubernur Jawa Barat melarang semua staf di lingkungan pemda menggunakan sepatu impor bahkan beliau menghukum mereka dengan push up 200 kali jika ketahuan menggunakan sepatu impor. Beberapa hari yang lalu Bupati Kulonprogo menyatakan gerakan “Beli Kulonprogo” dan mengkampanyekan setiap hari agar masyarakat kulonprogo menggunakan produk – produk kulonprogo sendiri untuk membangkitkan ekonomi daerahnya.
Pada sisi lain kita sedih mendengar bahwa petani kentang di Dieng hari ini tidak bisa menjual kentangnya karena dihajar oleh kentang impor yang harga jualnya rp. 2.750/kg, jauh lebih rendah dari ongkos produksi mereka. Petani bawang di brebes bergelimpangan karena bawang dari Cina membanjiri pasar bak air bah dengan harga yang juga tidak kalah murahnya. Demikian juga petani garam, nelayan, dan pedagang ikan. Mereka yang dulu mandiri secara ekonomi saat ini sedang menghadapi serangan gelombang kemiskinan baru di negeri ini.
Kesadaran tentang “apa yang kita bela” sepertinya sedang terjadi pada beberapa Pemimpin Daerah yang setiap hari melihat keadaan ekonomi rakyatnya, namun kesadaran yang setara justru belum kita lihat secara nyata pada pemerintah pusat yang sedang sibuk berbicara tentang pertumbuhan 6.5%, meskipun lupa menunjukkan dimana dan siapa yang mengalami pertumbuhan tersebut. Karena kita tahu petani kita sedang bertumbangan, bukan sedang bertumbuh.
Pasar bebas jelas bukan segala – galanya, juga bukan sesuatu yang membuat kita tidak berkutik. Pasar bebas bisa kita siasati dengan cerdas, cerdas artinya tidak membiarkan produk asing masuk begitu saja tanpa strategi, sehingga menghancurkan produk anak – anak kita sendiri.
Jadi, kalau standar pembelaan seorang walikota adalah mobil esemka, maka standar pembelaan Direksi BUMN seperti PT. Merpati Nusantara adalah membeli pesawat dari IPTN, demikian juga dengan Pertamina, Telkom, dan BUMN lain yang seharusnya mengutamakan supplier dan produk anak bangsa sendiri. Standar pembelaan menteri adalah tidak menjual BUMN atau Go Public, seorang menteri melakukan pembelaan dengan mencegah dan melindungi pasar dalam negeri dengan segala cara dari serangan arus barang impor, menggunakan sebesar – besarnya anggaran pembelian untuk produk anak bangsa sendiri. Sementara standar pembelaan seorang Presiden adalah mengembalikan Freeport, mengembalikan tambang – tambang minyak dan gas yang sudah lama diserahkan kepada asing agar kembali kepada bangsa sendiri. Beli Indonesia!
0 comments: